Seperti tak lagi ingin berteman denganku, dunia berlari meninggalkan kebahagiaanku.
Kedatanganku hari itu disambut dengan kabar yang sungguh tak mampu ku dengar. Berharap kedatanganku kan disambut dengan kue tart coklat buatan mama, dengan taburan ceri di atasnya itu sia-sia. Tak berselang lama setelah kedatanganku dari kota mengikuti sebuah perlombaan, namaku berkali-kali diserukan oleh tetangga sebelah yang nyatanya adalah tanteku sendiri. Dengan perasaan biasa-biasa saja ku jawab panggilannya yang menginginkan aku mendengarkan segumpal rasa yang sama sekali tak karuan di dadanya. Perlahan ia mengawali pembicaraannya tentang roda kehidupan padaku, dengan perasaan curiga ku pahami sedikit demi sedikit rangkaian kata yang keluar dari mulutnya. Perasaanku makin tidak karuan ketika ia memohon agar aku siap mendengar kabar apapun yang akan disampaikannya.
“Orang tuamu akan bercerai, Sa!”
Sungguh dadaku panas, bahkan lebih panas dibandingkan ketika terjadi pertengkaran hebat antara aku dan abangku beberapa saat yang lewat. Ubun-ubunku mulai mendidih, saat itu amarahku tak lagi mau sembunyi, tapi aku sama sekali tidak melampiaskannya pada siapapun, bibirku bertasbih, berkali-kali aku memohon ampun pada yang kuasa dan menampari pipiku, berharap ini hanya mimpi, tapi sia-sia belaka. Aku berlari tanpa arah yang jelas kugoyang kakiku yang serasa kena sembilu, ku titih setiap tepian yang terhampar di sungai belakang rumahku. Aku terjatuh lemah di antara semak-semak.
“Ya Tuhan, begitu besar cobaan yang kau embankan padaku, aku hanya gadis malang yang masih mebutuhkan kasih sayang kedua orang tuaku. Ya Tuhan!”
Diriku memang terlihat kuat, tapi ditengah-tengah kekuatan itu jiwaku sangat rentan akan panasnya dunia ini.
“Ya Allah, tiadakah sedikit kebahagiaan yang kan Kau beri untuk hamba-Mu yang Fana ini?, mengapa ini harus terjadi?, Ya allah”
Hatiku hancur, aku hanya berfikir betapa kejam dunia ini padaku, air mata mengiringku lebih dalam ke lembah kesakitan, hingga akhirnya aku teringat pada kata-kata kakak tertuaku yang beberapa saat lalu meninggalkanku. Ya meninggalkanku untuk selamanya.
“Dek, seberat apapun cobaan yang diberikan tuhan padamu, kamu harus tetap ingat padanya, hanya dia tempatmu mengadu, hanya dia yang tau solusi terbaik untukmu.”
Sebenarnya aku masih memiliki satu orang kakak lagi, tapi aku kurang menyukai sikapnya yang sering kasar padaku.
Aku segera menghapus deraian air mata dari pipiku ku tuntun langkahku menuju rumah. Ku buka pintu perlahan, tiada siapa-siapa di sana hanya aku dan kursi tamu lusuh, serta jaring laba-laba yang basah terkena rembesan hujan semalam. Ku lempar tas punggungku, ku bulatkan tekad menuju kamar mandi 4 kali 4 yang hanya bertutupkan terpal, ku basuh mukaku dan segera ku ambil Wudhu.
“Ya Allah, hamba hanya manusia biasa yang tak sanggup bertahan lama, berikanlah kesabaran dan kekuatan untuk hamba menghadapi cobaan”
Kata-kata yang sama kuulang berkali-kali, berharap Tuhankan mendegarkan segelintir doaku padanya, setelah sekian lama aku meninggalkannya. Tangisku seperti tak ada ujung, mukenaku perlahan basah, hingga tangisan itu membuatku penat.
◊◊◊◊
Pagi datang membelai tubuhku, karena lelah, aku tertidur diatas sajadah kesayangan kakakku yang telah tenang di syorga sana. Rasanya beberapa waktu yang lawat aku baru saja kehilangan orang yang amat kusayangi, lalu kini aku harus menghadapi satu cobaan lagi. Mataku sembab, pagi itu mama bertanya padaku
“Kenapa mata kamu sembab gitu, Sa?”
Dia bertanya berkali-kali padaku, aku hanya diam, aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin menjawab satupun pertanyaan darinya.
Agaknya mamaku sudah mengerti masalahku, segera sebelum keberangkatanku kesekolah ia menghampiriku dan berusaha memperjelas keadaan padaku. Tapi suasana hatiku sedang tidak bagus, aku mengabaikan setiap pertanyaan dan kemunafikan yang keluar dari bibirnya.
Mataku yang sembab membuat temanku bertanya-tanya, beberapa diantara mereka terlihat berbisik di belakangku. Tapi, masa bodoh, aku sedang tak ingin memikirkan hal apapun sekarang aku tidak ingin menambah beban fikiranku.
Hari itu aku benar-benar kacau, beberapa kali guru memarahiku karena tidak memperhatikan pelajaran, tapi aku sama sekali tak peduli pada kata-katanya. Setelah jam istirahat, aku bolos dari sekolah, ku ayun laki kaki ku ketempat di mana aku terhenti kemarin.
Aku sedang asyik-asyiknya menghirup udara segar, membebaskan fikiranku dari problema kehidupan, seseorang datang menepuk pundakku.
“hei”
Aku hanya diam dan sama sekali tidak mempedulikannya, namun ia tak menyerah begitu saja untuk menaklukkan keangkuhanku.
“Jangan ganggu gua” Bentakku padanya
“upss sorry. Boleh duduk kan” Pintanya
Lagi-lagi aku diam dan melanjutkan misi hening ciptaku.
Siang menjelang, hokum alam memaksa cacing-cacing di perutku untuk bernyanyi ria. Siang itu aku benar-benar lapar di tambah lagi godaan dari roti yang siap di lahap masuk oleh orang di sampingku. Seperti mendengar nyanyian perutku, tiba-tiba dia memberiku roti yang tak jadi dimakannya. Baginya mungkin hanya roti biasa, tapi bagiku itu bak sepotng daging ayam raksasa yang menunggu waktu untuk sampai keperutku. Sifat aroganisasi memaksaku untuk menolak pemberiannya, hinnga akhirnya bujukannya berhasil menyihir hatiku.
“Ambil aja, nggak ada racunnya kok” Katanya
“Thank’s” balasku
“Kenalin aku Reno”
“Lisa” Jawabku singkat
“Em.. maaf kalau lancing, tapi kayaknya kamu lagi banyak masalah ya…”
Belum sempat aku berbicara, anak itu memotong kata-kataku
“Eps… Jangan marah dulu, akukan udah bilang maaf sebelum nanya.”
Aku hanya diam mendengar kata-katanya, dia bicara panjang lebar padaku. Hari itu, setiap detik yang ku lalui berselimut kata-kata diam.
Ocehan-demi ocehan yang keluar dari bibirnya berhasil mencairkan suasana hatiku yang sedang beku. Perlahan bibirku yang kaku mulai kendur dan berbicara sedikit demi sedikit padanya.
◊◊◊◊
Sore hari dari kejauhan aku mendengarkan kata-kata gaduh yang sepertinya berasal dari rumahku. Aku berjalan mendekati rumah, ternyata sedang terjadi sebuah pertempuran hebat antara mama dan papaku. Tak tahu apa yang harusku lakukan, aku lalu berteriak mengatakan “ Diam!!” Tapi kata-kataku sama sekali tak didengarkan. Aku lalu berlari menuju kamar dan menghempaskan pintu kamar itu sekeras kerasnya, tapi itupun tak membuat niat mereka surut untuk bertengkar. Aku malu, tetangga perlahan berdatangan untuk melihat bioskop gratis itu, hingga abangku satu-satunya yang masih hidup pulang dan menghentikan pertempuran itu.
Lagi-lagi air mataku terjual murah karena kedua orang tuaku, aku tak tahu mana yang harusku bela, yang jelas saat ini aku lebih memilih diam, diam dan diam, terserah apa kata orang, sekalipun aku dikatakan anak pembangkang, aku tak peduli, aku sedang menikmati hari-hari diamku.
◊◊◊◊
Pertengkaran kedua orang tuaku tersebar dengan cepat, masalah santer dibicarakan oleh tetangga-tetangga sekitarku. Pasalnya, kata-kata perselingkuhan yang baru saja di proklamirkan oleh kedua orang tuaku, membuat mereka seperti orang kebakaran jenggot, sampai-sampai di sekolahpun aku sering kali disindir oleh teman-temanku. Dan, tak janggal memang jika hal ini membuatku semakin muak berada disekolah.
Lagi-lagi niat bolos itu muncul dari hatiku, jam kedua belum menjelang, aku telah berfikir untuk pergi dari sekolah, “nanti pergantian jam aku akan kabur dari sekolah”.
Aku pergi ke tempat biasa, berharap menemukan kedamaian untuk berdiam dan menceritakan masalahku kepada alam yang selalu setia menemani kesendirianku. Tiada satu orangpun terlihat di sana, niatku makin mantap untuk berbagi duka bersama sang alam, satu persatu kurangkai kata yang mengungkapkan betapa hari-hariku koyak diantara teman-teman, tetangga bahkan keluargaku sendiri. Tiba-tiba seseorang datang menepuk pundakku , dengan spontan aku meraih tangannya dan berniat menyerangnya, dia berteriak kesakitan hingga aku sadar dia adalah Reno, orang yang kemarin sore bercerita denganku.
“Sudahlah, masalah itu akan datang dan pergi. Jika kamu mau, aku siap kok buat dengarin masalah kamu.” Katanya padaku
“Sejak kapan Lo di sini?” Tanyaku lagi
“Sebelum kamu datang aku udah di sini juga, aku punya rumah pohon deket di atas sana. Mau lihat gak? Pemandangan di sana bagus lho, bisa nge-damein hati”
Aku lalu berfikir, dan mengangguk. Perasaanku mengatakan orang ini bisa dipercaya.
Reno benar, pemandangan dari rumah pohon miliknya membawa kedamaian kepada hatiku, sedikit demi sedikit kucurahkan segala kemelut hatiku padanya. Reno diam dengan seksama mendengar ceritaku, dia menatapku dalam seolah-olah mengungkapkan betapa prihatinnya dia padaku, dan dia berkali-kali mengucapkan kalimat manis yang seolah membujukku untuk menangis. Tapi hatiku beku, kerena tak pernah lagi disinari matahari cinta. Tak setetespun air mata mau bertandang keluar dari mataku.
“Menagislah jika kamu mau, gak perlu malu”
“Aku ini cewek hebat, Ren, aku gak bakal nagis kok” Protesku padanya
“Aku gak memaksa kamu. Tapi bahuku siap menampung air matamu. Tak ada hal yang lebih berharga, selain mampu membuat sahabat tertawa, tak ada hal yang lebih sempurna selain ketika sahabat mau berbagi duka. Suka duka kita bukanlah istimewa, karena setiap oarng mengalaminya. Kamu gak perlu sembunyiin apa-apa dari aku. Aku yakin, kamu pasti percaya kalau aku adalah sahabatmu”
Kata-katanya perlahan membelai hatiku, entah mengapa. Hatiku yang semula seperti baja, perlahan meleleh dengan radiasi yang luar biasa. Seperti inilah sirkum kehidupan, tak ada hal yang tak mungkin. No think imposible.
Ini adalah kali pertamanya aku menangis terang-terangan. Pertahananku tidak kokoh lagi, perlahan hatiku jebol mengalirkan sedikit demi sedikit mutiara bening dari mataku. Reno merenggut tanganku dan membaringkan kepalaku tepat dipundaknya. Ada sedikit perasaan marah pada diri sendiri, ternyata aku tak konsekuen dengan pendirianku yang tidak mau dikasihani orang itu. Pelukannya yang semakin erat malah tambah membakar hatiku, kukelukan segala emosiku dalam deraian-deraian air mata itu.
Setelah sejam menangis rasanya mataku sakit, aku kemudian berbaring menata langit-langit rumah pohon yang tua renta itu. Reno kemudian turun dari istananya, dia memintaku untuk menunggunya sesaat di rumah pohon. Lalu dia datang membawa dua bungkus nasi kotak. Reno memberikan sebungkus nasi kotak itu padaku, ia memaksaku untuk makan. Awalnya aku tak mau, karena selera makanku sedang merantau entah ke mana, kulihat Reno dengan lahapnya menyantap nasi kotak itu, tiba-tiba rasa lapar bertandang ke perutku. Kubuka nasi pemberian Reno, dia tersenyum manis padaku. Meskipun nafsu makanku sedang hilang, tapi ternyata nasi kotak itu kulahap habis. Sepertinya Reno puas melihatku menghabiskan makanan itu. Dia memang sahabat terbaik yang ku punya.
“Ren, makasih ya buat semua yang udah kamu beriin sama aku!” Ucapku padanya.
“Sama-sama. Aku udah anggap kamu kayak saudara sendiri kok!” Balasnya lagi
Sore itu Reno mengantarku pulang, ia khawatir jika aku pulang sendiri. Aku memintanya untuk tidak mengantar hingga rumah, karena aku tidak ingin dia mendengar pertengkaran orang tuaku kalau-kalau itu terjadi.
◊◊◊◊
Aku sampai di rumah, dan tak terlihat tanda-tanda kehidupan sama sekali di sana. Ku buka pintu dengan kunci duplikat milikku. Memang tiada siapa-siapa di sana. Kulihat seisi rumahku seperti dilanda gempa. Mamaku mungkin sudah bersenang-senang di luar kota. Papaku mungkin juga sudah pergi entah kemana, sudahlah aku tak peduli dengan semua ini.
Handphone milikku berbunyi, kubaca sebuah pesan singkat dari nomor yang aku kenal, Reno!
“Kamu belum makan, kan? Aku di depan membawakan makanan buat kamu”
Reno, cowok ini seumpama guardian angel bagiku, dia selalu saja tahu apa yangku rasa.
Aku bukakan pintu, ku persilahkan dia masuk, tapi Reno menolak dengan alasan buru-buru, setelah memberikan nasi itu padaku dia pergi meninggalkan rumahku.
Handphone milikku berdering lagi, kali ini ternyata telfon dari mamaku.
“Hallo” Sapaku padanya
“Lisa, maaf ya! Mama sekarang lagi di luar kota uang untuk jajan kamu mama transfer ke rekening aja ya! Maaf, mama nggak kasih tahu kamu kalau mama bakal pergi, kalau lapar kamu masak sendiri aja ya, tar mama transfer doble deh. Kamu kan pinter masak. Ya udah saying ya, mama sibuk nih. Bye saying”
Belum sempat aku bicara apa-apa, mama sudah menutup telfon itu. Ya sudahlah, aku tidak mau berkomentar apa-apa, karena itu juga tidak akan ada gunanya.
◊◊◊◊
Beberapa hari ini aku sering bolos dari sekolah, hingga surat panggilan dari sekolah diantarkan ke rumahku. Karena yang menerima abangku, keesokan harinya ia langsung menemui kepala sekolah. Dengan perasaan sedikit was-was ku antar dia menuju ruang kepala sekolah. Aku hanya bisa berdo’a semoga saja kelakuanku selama ini tidak diadukan kepala sekolah kepada abangku
Do’aku sepertinya sia-sia, kepela sekolah menceritakan semua kenakalanku. Namun anehnya, abangku hanya senyum manis saja mendengar pernyataan kepala sekolah, bahkan kepala sekolahku sendiri merasa muak melihat senyuman-senyumannya itu. Ia mengakhiri pembicaraan dengan alsan akan mengadakan rapat, aku yakin hatinya pasti berkata
“Adik sama Kakak sama saja”
Panggilan dari kepala sekolah itu sama sekali tidak membuatku kapok. Aku malah bolos lagi dan pergi ketempat biasa aku menyendiri. Rumah Pohon. Difikiranku hanya ada tempat itu, dimana aku bisa menyendiri mendamaikan hatiku. Sekolah sekarang sudah seperti neraka bagiku, panas.
◊◊◊◊
Tak kuurungkan niat sedikitpun, dengan langkah pasti ku panjat anak tangga rumah pohon milik Reno, dan senangnya, aku menumakan Reno di sana. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
“Ren, aku mau nanya tapi jangan marah ya!” Pintaku sebelum bertanya kepadanya.
“Apa?” Balasnya padaku
“Kamu nggak sekolah” Tanyaku sedikit ragu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar